Sabtu, 05 November 2011

Direktur Rumah Sakit Harus Dokter

Persyaratan kepala rumah sakit yang harus dokter atau dokter gigi inilah yang menjadi catatan saya sejak lama. Apakah benar selain dokter tidak akan mampu memimpin sebuah rumah sakit? Perawat, bidan, apoteker atau tenaga kesehatan lainnya tidak cukup mempunyai kompetensi terhadap hal itu? Keharusan tenaga medis memimpin rumah sakit ini, apakah sudah berdasarkan evidence base? Seberapa intensifnya keahlian sebagai dokter digunakan dalam tugasnya menjadi direktur rumah sakit? Pasal 34 Undang-Undang Rumah Sakitmenyebutkan bahwa kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Sepanjang yang saya ingat, ada beberapa alasan yang dikemukakan pemerintah dan DPR yang setuju dengan pasal ini.
Pertama, lebih mudah dokter belajar ilmu perumah sakitan dibandingkan tenaga kesehatan yang mengerti perumah sakitan belajar ilmu kedokteran.
Menanggapi alasan ini, saya menjadi bingung. Apakah ini pernyataan ini berdasarkan fakta atau sekedar hipotesis belaka. Selain itu logika berfikirnya menjadi rancu. Disimak dari redaksi dan asal mula pasal tersebut diatas, dalam persyaratan pasal tersebut ditambahkan “mempunyai kemampuan dan keahlian dibidang perumahsakitan”.
Ini berarti bukan tenaga medisnya yang lebih substansial, melainkan kompetensi di perumahsakitan. Sehingga logika fikirnya mestinya dibalik, jika sudah mempunyai kompetensi bidang perumahsakitan semestinya tenaga kesehatan apapun jenisnya menjadi tidak masalah.
Kedua, tenaga kesehatan lain akan mengalami kesulitan memimpin rumah sakit yang didalamnya terdapat banyak sekali dokter dan dokter spesialis.
Lagi-lagi alasan ini hanya merancukan logika berfikir. Sebenarnya kemampuan memimpin rumah sakit didasarkan pada kompetensi ataukah egoisme profesi.  Satu profesi tertentu merasa lebih dibandingkan profesi yang lain. Dan apakah benar semua dokter dan dokter spesialis tidak mau dipimpin oleh kepala rumah sakit yang seorang perawat misalnya.
Sekarang mari kita bicara fakta. Saya mempunyai teman seorang dokter spesialis sekaligus direktur rumah sakit daerah. Saya bertanya seberapa seringkah ilmu kedokteran atau ilmu spesialisnya digunakan dalam memimpin rumah sakit? Dia menjawab jarang sekali. Karena menjadi direktur RSUD itu pekerjaannya sebagaian besar bersifat administratif. Bagaimana antar unit kerja internal dapat berkoordinasi dan bekerja sama.
Disamping itu bagaimana pula membina hubungan dengan stakeholder eksternal, baik pemerintah daerah maupun masyarakat umum. Memang ini tidak mewakili atau menjadi pembenaran bahwa tidak harus dokter untuk menjadi direktur rumah sakit. Tetapi selayaknya menjadi bahan pertimbangan.
Menjadi pertanyaan selanjutnya, apa bukti dan legalitas mempunyai kemampuan di bidang perumahsakitan itu? Sebagaian besar menjawab harus lulusan magister perumahsakitan atau MARS. Dan jika melihat materi kuliah pasca sarjana perumahsakitan, maka sangat sedikit sekali menyentuh tataran teknis kedokteran. Tetapi menyangkut administrasi manajemen perumahsakitan baik pelayanan kesehatan, penunjang dan administrasi keuangan.
Selain itu bagaimana memberikan pelayanan prima yang berorientasi kepada kepuasan pasien dan keluarganya. Karena pada hakekatnya rumah sakit bukan sekedar pelayanan medis belaka,  melainkan juga pelayanan yang bersifat non medis. Justru tren yang berkembang, bagaimana rumah sakit memberikan pelayanan yang penuh hospitality seperti layaknya hotel tanpa mengesampingkan kualitas pelayanan kesehatannya.
Saya beberapa kali berkunjung ke rumah sakit di daerah. Betapa banyak rumah sakit milik pemerintah atau swasta mengalami kesulitan mendapatkan dokter yang berstatus tetap. Sementara menjadi seorang direktur tentu harus berstatus tenaga tetap. Pertanyaannya apakah rumah sakit ini harus memilih, memiliki direktur rumah sakit yang tidak tetap tetapi dokter, atau dipimpin dokter namun tidak berstatus tetap. Bagaimana jika sebuah rumah sakit dipimpin oleh tenaga yang bekerja paruh waktu? Sungguh pilihan yang sulit bagi pemilik rumah sakit.
Dilihat dari sudut pandang legal, ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Rumah Sakit ini merupakan ‘kemunduran’. Keputusan menteri kesehatan dan kesejahteraan sosial nomor 191 tahun 2001 sebagai perubahan keempat dari Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 159b Tahun 1988 tentang Rumah Sakit, dinyatakan bahwa direktur rumah sakit adalah tenaga dokter atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai kemampuan di bidang perumahsakitan, memahami dan menghayati etika profesi kesehatan khususnya etika kedokteran.
Setiap akhir manajemen pelayanan rumah sakit adalah mutu pelayanan dan kepuasan pasien. Siapapun kepala rumah sakitnya, tenaga medis atau tenaga kesehatan. Semoga jika nanti ruu rumah sakit ini diundangkan, justru tidak membuat pelayanan rumah sakit menjadi lebih buruk ditengah jumlah dokter yang tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar