Sejak otonomi daerah dan desentralisasi, perizinan rumah sakit merupakan urusan yang dibagi sesuai dengan susunan dan tingkatan pemerintahan berdasarkan kelas rumah sakit. Oleh sebab itu terdapat korelasi yang sangat kuat antara perizinan dan penetapan kelas rumah sakit.
Pengaturan kelas rumah sakit secara khusus telah diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 340/Menkes/Per/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Ketentuan Pasal 2 menyebutkan bahwa setiap rumah sakit wajib mendapatkan penetapan kelas dari Menteri Kesehatan.
Muncul pertanyaan disaat kapan perizinan rumah sakit dilakukan; apakah sebelum, sesudah atau bersamaan dengan penetapan kelas rumah sakit?.
Permasalahan yang dihadapi
Disebabkan hubungan yang kuat antara perizinan dan klasifikasi rumah sakit ini sementara aturan teknis yang mengatur keduanya belum lengkap, seringkali antara izin dan kelas rumah sakit menimbulkan kebingungan dalam tahap pelaksanaannya.
Mencermati ketentuan peraturan perundang-undangan bahwa kewenangan izin didasarkan pada kelas rumah sakit, maka dalam tahap pelaksanaanya semestinya izin rumah sakit diberikan setelah penetapan kelas. Dengan kata lain, izin tak dapat dikeluarkan jika kelas rumah sakit belum jelas atau belum mendapat penetapannya oleh pihak yang berwenang.
Sementara itu, ketentuan Pasal 8 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit disebutkan bahwa rumah sakit yang telah memiliki izin operasional sementara harus mengajukan surat permohonan penetapan kelas Rumah Sakit kepada Menteri Kesehatan. Ini berarti pemberian izin mendirikan dan izin operasional sementara telah dilakukan sebelum mendapat penetapan kelas oleh Menteri Kesehatan. Inilah yang menyebabkan dalam pelaksanaan berpotensi menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Permasalahan yang muncul pada tingkat pelaksanaan terjadi pula pada rumah sakit yang telah lama berdiri dan beroperasional sebelum ditetapkannya Peraturan Menteri Kesehatan tentang Perizinan Rumah Sakit dan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Klasifikasi Rumah Sakit. Dimana banyak terjadi, rumah sakit belum mengajukan atau dalam proses penetapan kelas namun pada saat yang sama izin operasional rumah sakit telah habis masa berlakunya. Disinilah Kepastian dan perlindungan hukum tak terpenuhi terhadap rumah sakit tersebut.
Masalah lain yang juga sering muncul adalah pelaksanaan proses penetapan kelas yang memakan waktu lama. Waktu yang dibutuhkan sejak tahap visitasi atau penilaian kelayakan kelas rumah sakit hingga diterbitkannya Keputusan yang menetapkan kelas sebuah rumah sakit membutuhkan waktu lebih dari 1 bulan.
Untuk mengetahui lama proses penetapan kelas dari awal, perlu disampaikan tatacara peningkatan kelas rumah sakit. Karena pada hakekatnya peningkatan kelas rumah sakit juga merupakan sebuah penetapan. Menurut ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 147/Menkes/Per/I/2010 tentang Perizinan Rumah Sakit, disebutkan bahwa langkah-langkah peningkatan kelas sebagai berikut:
- Setiap Rumah Sakit dapat mengajukan permohonan peningkatan kelas secara tertulis.
- Peningkatan kelas diajukan dengan melampirkan rekomendasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi, Profil dan data Rumah Sakit, Isian Instrument Self Assessment peningkatan kelas; dan sertifikat lulus akreditasi kelas sebelumnya.
- Dalam rangka peningkatan kelas Rumah Sakit, Menteri Kesehatan membentuk Tim penilai klasifikasi Rumah Sakit.
- Berdasarkan hasil penilaian Tim Penilai, Menteri Kesehatan menetapkan kelas Rumah Sakit.
Permasalahan hukum jika rumah sakit tanpa izin
Berdasarkan Undang-Undang Rumah Sakit, dalam setiap penyelenggaraan rumah sakit harus memiliki izin. Tanpa izin sah dari pihak berwenang, rumah sakit dilarang berdiri dan atau beroperasional. Dan jika rumah sakit tanpa izin melakukan pelayanan kesehatan, terancam sanksi dan hukum pidana. Demikian juga rumah sakit yang telah kadaluarsa izin namun tidak memperpanjang izin operasional, dapat dikatakan rumah sakit tersebut tidak ber-izin.
Dalam Pasal 62 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dinyatakan bahwa:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan Rumah Sakit tidak memiliki izin dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00- (lima milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali.
(3) Selain pidana denda tersebut, korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha; dan/atau pencabutan status badan hukum.
Secara aspek hukum, baik Permenkes No. 147/Menkes/Per/I/2010 maupun Permenkes No. 340/Menkes/Per/III/2010 tidak secara jelas mengharuskan izin operasional tetap harus dikeluarkan setelah penetapan kelas rumah sakit. Yang diharuskan adalah mengurus penetapan kelas bagi rumah sakit yang memiliki izin operasional sementara. Kepemilikan izin operasional sementara itu berlaku bagi rumah sakit baru yang belum memenuhi persyaratan yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, tidak setiap rumah sakit memiliki izin operasional sementara terutama rumah sakit yang telah lama berdiri dan beroperasional tetap.
Berdasarkan hal tersebut diatas, ditinjau dari sisi substansi dan aspek hukum maka izin rumah sakit memiliki fungsi dan urgensi yang lebih penting serta sanksi yang jelas bagi pelanggarannya. Dalam prakteknya, izin rumah sakit dapat dilakukan sebelum, sesudah atau bersamaan dengan penetapan kelas rumah sakit disesuaikan dengan kondisi dan urgensi rumah sakit dan daerah yang bersangkutan.
Namun demikian, tentu saja hal ini memerlukan pengaturan lebih jelas dengan Peraturan Menteri Kesehatan, sosialisasi dan koordinasi antara tingkatan pemerintahan dari Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar